Peran stakeholder dalam penyakit malaria dan PD3I

Peranan stakeholder dalam mengatasi penyakit Malaria dan PD3I

Stakeholder adalah “any group or individual who can affect or is affectd by the achivement of the organization’s objectives”. (Freeman,1984)

Jenis stakeholder dalam kesehatan adalah
1. Stakeholder aktif adalah stakeholder kunci, karena mempunyai wewenang resmi. Contoh stake holder aktif adalah Kementrian Kesehatan, Dinas Kesehatan, Kementrian pendidikan, Dinas Pendidikan dll.
2. Stakeholder pasif adalah stakeholder pendukung, karena sebagai kelompok target dari implementasi sistem kesehatan. Contoh stakeholder pasif adalah masyarakat publik dan swasta.

Peranan stake holder dalam mengatasi penyakit malaria

Malaria
Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin menggigil) serta demam berkepanjangan. Vektor penyakit malaria adalah nyamuk Anopheles sp. Bredding place nyamuk adalah tempat yang kontak langsung dengan tanah, contohnya kubangan air, kolam, sawah dan rawa.
Sejak tahun 1950, malaria telah berhasil dibasmi di hampir seluruh Benua Eropa dan di daerah seperti Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Namun penyakit ini masih menjadi masalah besar di beberapa bagian Benua Afrika dan Asia Tenggara. Sekitar 100 juta kasus penyakit malaria terjadi setiap tahunnya dan sekitar 1 persen diantaranya fatal. Seperti kebanyakan penyakit tropis lainnya, malaria merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang. ( infeksi.com)
Pertumbuhan penduduk yang cepat, migrasi, sanitasi yang buruk, serta daerah yang terlalu padat, membantu memudahkan penyebaran penyakit tersebut. Pembukaan lahan-lahan baru serta perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) telah memungkinkan kontak antara nyamuk dengan manusia yang bermukim didaerah tersebut. ( infeksi.com)
Peran stakeholder dalam penyakit malaria adalah
1. Petugas kesehatan ( entomolog dan sanitarian)
Petugas kesehatan (entomolog dan sanitarian) dapat berperan sebagai pihak yang secara teknis dalam penanggulangan nyamuk Anopheles sp. Penanggulangan nyamuk Anopheles sp dapat dilakukan berbagai cara salah satunya dengan pemutusan siklus hidup nyamuk. Dalam pemutusan siklus hidup nyamuk perlu memperhatikan kebiasaan nyamuk (entomolog). Sehingga petugas kesehatan tepat dalam penanggulangan vektor penyakit malaria.
2. Dinas kesehatan
Dinas kesehatan mempunyai peran sebagai stakeholder aktif yang memiliki kewenangan resmi. Sehingga peran yang diharapkan dari dinas kesehatan adalah program-program penanggulangan penyakit malaria berbasis lingkungan dan pengobatan (penyuluhan,pengendalian,dan pemberian gizi).
3. Dinas pendidikan
Dinas pendidikan mempunyai peran sebagai stakeholder aktif sehingga perlunya perencaan program pendidikan penyakit-penyakit yang berbasis lingkungan yang salah satunya adalah penyakit malaria, sehingga pada usia dini siswa telah mengerti tentang penyakit malaria.
4. Dinas Peternakan
Dinas peternakan mempunyai peran sebagai stakeholder aktif, program-program yang berkaitan dengan pemutusan rantai nyamuk anopheles pada stadium larva. Sebab habitat hidup larva nyamuk tersebut di air yang langsung berhubungan tanah. Dimungkinan di daerah peternakan terdapat genangan air atau tempat minum yang dapat menjadi tempat hidup jentik nyamuk. Pemberian pengetahuan kepada peternak untuk aktif dalam pengendalian jentik nyamuk.
5. Dinas perkebunan
Dinas perkebunan berperan pula dalam program-program pemutusan rantai nyamuk anopheles yaitu pada stdium larva atau pun dewasa. Sebab pada daerah perkebunan dimungkinkan banyak terdapat genangan air yang dapat menjadi tempat hidup larva nyamuk anopheles. Program tersebut diberikan kepada para pengelola perkebunan yang bekerja di lapangan sehingga bila terdapat genangan air segera di tutup.
6. Dinas perikanan
Dinas perikanan berperan dalam program pendidikan kepada masyarakat yang mempunyai kolam untuk aktif dalam pengendalian nyamuk anopheles pad stdium larva. Sehingga bila di kolam terdapat larva langsung dilakukan pengendalian contohnya 3M atau ikannisasi dengan ikan predator (cupang,ikan mas)
7. Dinas pertanian
Dinas pertanian mempunyai peran sebagai stakeholder aktif, sehingga program-program yang erat kaitannya dengan penanggulangan penyakit malaria perlu diperhatikan. Karena jentik nyamuk Anopheles sp mempunyai tempat hidup di air yang kontak langsung dengan tanah sehingga bagi para petani atai lainnya jika terdapat jentik nyamuk di sawah, kolam dan lainnya untuk segera dilakukan pengendalian. Sehingga dinas perhatian perlu memberikan pengetahuan tentang penyakit malaria kepada petani.
8. Masyarakat
Masyarakat sebagai stakeholder pasif mempunyai peran untuk melaksanakan program dinas kesehatan yang salah satunya program PSN/ 3M, sehingga dengan kegiatan psn yang dilakukan oleh masyarakat juga akan membantu tugas-tugas dari petugas kesehatan.

PD3I
Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, “Paradigma Sehat” dilaksanakan melalui beberapa kegiatan antara lain pencegahan penyakit. Salah satu upaya pencegahan penyakit menular adalah pengebalan ( Imunisasi ). Bahwa Imunisasi sebagai salah satu upaya preventif untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh harus dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai penularan.
Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi antara lain : TBC ANAK, HEPATITIS B, DIFTERI, TETANUS, PERTUSIS, POLIO,dan CAMPAK.
Peran stakeholder dalam penyakit PD3I adalah

1. Kementrian kesehatan
Dalam hal ini kementrian kesehatan berperan sebagai penyandang dana dalam pelaksanaan program. Sehingga dengan adanya dana yang memadai program dapat terlaksana dengan optimal.

2. Dinas Kesehatan
Dinas kesehatan berperan dalam pengadaan imunisasi yang nantinya akan di salurkan ke puskesmas-puskesmas. Sehingga dalam program imunisasi perlu melihat kebutuhan imunisasi tiap puskesmas. Perlu diperhatikan pula kualitas imuniasi yang akan diberikan. Melakukan pula penyuluhan/promosi kesehatan akan pentingnya imunisasi dan penanganan KLB penyakit PD3I.
3. Dinas pendidikan
Dinas pendidikan berperan dalam mendukung program lima imunisasi dasar yang dilakukan di sekolah-sekolah sesuai dengan cakupan wilayah puskesmas. Sehingga perlu memperhatikan pentingnya imunisasi bagi siswa-siswi agar terhindar dari penyakit. Dengan siswa yang sehat maka proses belajar mengajar akan berjalan lancar dan prestasi siswa akan meningkat.
4. Masyarakat
Masyarakat berperan dalam aktif dalam mengikuti program imunisasi yang dilakukan baik di puskesmas atau di posyandu terdekat. Sehingga cakupan program imunisasi akan tinggi dan mengurangi kantong-kantong daerah yang memiliki endimisitas tinggi akan penyakit oleh PD3I.
5. Posyandu
Posyandu berperan untuk melaksanakan program imunisasi sesuai dengan jadwal program dan selalu menginformasikan kepada masyarakt untuk rajin dalam melakukan imunisasi. Serta menyediakan tempat sarana pelayanan masyarakat yang baik.
6. Kader kesehatan
Kader kesehatan berperan untuk memberikan informasi kepada manyarakat akan penting imunisasi serta mendaftar balita yang membutuhkan imunisasi yang kemudian dilaporkan ke puskesmas.
7. Puskesmas
Puskesmas berperan dalam memantau kegiatan imunisasi yang dilakukan di posyandu atau sarana pelayanan kesehatan masyarakat lain. Serta memantau pemberian imunisasi kepada balita sudah sesuai atau belum.

Pendekatan epidemiologi

III. STUDI CROSS-SECTIONAL

Studi cross sectional adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit serentak pada individu-individu dari populasi tunggal, pada suatu waktu atau periode.
Model cross-sectional disebut juga studi prevalensi, karena yang diukur adalah prevalensi. Berbeda dari model terdahulu, dimana aksi agent dapat dinyatakan sebagai mendahului penyakit, maka dalam model ini baik agent dan penyakit diteliti pada saat yang sama.Model ini relatif lebih mudah, lebih cepat dan denga sendirinya menjadi lebih murah tetapi sulit menghubungkan antara faktor pemapar dengan prevalensi yang didapat. Dengan demikian, model ini tidak dapat digunakan untuk memperkirakan atau menguji hipotesa hubungan agent dan penyakit. Tetapi, penelitian ini berguna bagi suatu studi tentang suatu faktor yang bersifat permanen, misalnya bangsa, golong darah, karakteristik manusia dan keadaan demografi, keadaan sakit dan kebiasaan hidup yang dihubungkan dengan distribusi tas dasar manusia, jenis kelamin, dan bangsa.

KELEBIHAN
a. Memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat umum, tidak hanya pasien yang mencari pengobatan dan generalisasinya cukup memadai
b. Relatif mudah, murah dan hasilnya cepat diperoleh
c. Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus
d. Jarang terancam loss to follow up
e. Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertama suatu penelitian kohort atau eksperimen, tanpa atau sedikit sekali menambah biaya
f. Dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat konklusif
g. Mengetahui prevalensi penyakit kronis, penyakit akibat kerja dan penyakit akibat terpapar oleh bahan racun
h. Memberi usaha informasi untuk usaha pencegahan
i. Dipakai sebagai pemula ( prerekuisit ) untuk studi longotidinal dan prospektif
j. Biasanya gampang menentukan cara analisisnya
k. Dapat digunakan untuk faktor risiko
l. Dapat digunakan untuk studi penyakit yang jarang terjadi


KEKURANGAN
a. Sulit untuk menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko dan efek dilakukan pada saat yang bersamaan
b. Diperlukan seleksi sampel yang kuat
c. Study prevalens lebih banyak menjaring subyek yang mempunyai masa sakit yang pendek, karena individu yang cepat sembuh atau cepat meninggal mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk menjaring dalam study
d. Dibutuhkan jumlah subyek yang cukup banyak terutama bila variabel yang dipelajari banyak
e. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insiden maupun prognosis
f. Tidak praktis untuk menggambarkan penyakit atau kasus yang sangat jarang
g. Mungkin terjadi bias prevalens dan bias insidens karena efek suatu faktor risiko bisa disalah tafsirkan sebagai efek/penyakit
RUMUS
Rasio Prevalens ( RP ) = (a/ ( a + b )) / c/ ( c + d )

INTERPRETASI
a. RP = 1 variabel yang diduga sebagai faktor risiko tersebut tidak ada pengaruhnya dalam hal terjadinya penyakit/netral
b. RP > 1 variabel yang diduga sebagai faktor risiko memang sebagai penyebab terjadinya penyakit
c. RP < 1 Variabel faktor risiko tersebut merupakan faktor protektif terjadinya penyakit

Contoh :
Hubungan kebiasaan merokok dengan frekuensi kasus hipertensi Di Puskesmas ngresep II , dengan menggunakan rancangan atau pendekatan cross sectional.
Langkah-langkah :
1. Mengidentifikasi variabel-variabel yang akan diteliti dan kedudukanya masing-masing.
Variabel dependen (efek ) : frekuensi kasus hipertensi
Variebel independen (risiko ) : kebiasaan merokok
Variabel independent (risiko) yang dikendalikan : musim,pengetahuan,perilaku.
2. Menetapkan subjek penelitian atau populasi dan sampelnya.
Subjek penelitian : bapak. waktu : Juli dan cara pengambilan sampel : simpel random sampling. Tempat : semarang
3. Melakukan pengumpulan data, observasi atau pengukuran terhadap variabel dependen-independen dan variabel-variabel yang dikendalikan secara bersamaan (dalam waktu yang sama).
4. Mengolah dan menganalisis data dengan cara deskriptik dan analitik.

pendekatan Epidemiologi
II. STUDI KOHORT ATAU PROSPEKTIF
Studi kohort adalah rancangan studi yang mempelajari hubungan antara paparan dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok terpapar (faktor peneliti) dan kelompok tak terpapar berdasarkan status penyakit. Ciri-ciri studi kohort adalah pemilihan subyek berdasarkan satus terpaparnya dan kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan apakah subyek dalam perkembangannya mengalami penyakit diteliti atau tidak. Ciri lain adalah kemungkinan perhitungan laju insidensi (ID) dari masing-masingnkelompok studi. Ciri yang paling membedakan dari studi eksperimental adalah peneliti hanya mengamati dan mencatat paparan dan penyakit dan tidak dengan sengaja mengalokasi paparan.

Keuntungan penelitian kohort adalah:
1. Dapat dikuantifikasi dengan akurat jumlah paparan yang diterima populasi,
2. Penyakit yang terjadi dapat diperiksa dan dibuat diagnosa secara teliti,
3. Tidak terjadi bias seperti pada case-control
4. Hubungan sebab dan akibat lebih jelas/pasti dan lebih menyakinkan
5. Merupaka pengukuran resiko yang sangat langsung
6. Mendapatkan Insiden Risk dan Relative Risk secara langsung
7. Dapat melihat hubungan satu penyebab terhadap beberapa akibat
8. Dapat mengikuti secara langsung kelompok yang dipelajari
9. Dapat menentukan lebih dulu causa atau efek
10. Biasnya lebih kecil

Kerugian penelitian seperti ini adalah:
1. Follow up bisa sangat lama sebelum terjadi penyakit, karenanya menjadi mahal,
2. Populasi banyak yang tidak tetap berada dilingkungan terpapar atau berpindah, sehingga sulit memperkirakan paparan individual,
3. Kemungkinan populasi pindah dan meninggal akibat penyakit lain, menyebabkan banyak ‘drop-out’, yang mungkin sulit untuk diganti, dan data menjadi sangat sedikit,
4. Apabila penyakit jarang sekali didapat, maka waktu penelitian tambah lama,
5. Jumlah ‘drop-out’ biasanya sebanding dengan lamanya penelitian
6. Lama dalam persiapan dan hasil yang diperoleh
7. Hanya bisa mengamati satu factor penyebab
8. Kurang bagus untuk penyakit yang jarang
9. Melihat keuntungan case-control dan kohort, maka biasanya, penelitian kohort dilakukan setelah selesai penelitian retrospektif.

RUMUS
a. Insiden Risk ( IR )
b. Relative Risk ( RR ) = ( R kelompok terpapar) / (IR kelompok tidak terpapar) = (a/a + b)/c/c + d
c. Attributable Risk = IR kelompok terpapar - IR kelompok tidak terpapar

INTERPRETASI
a. RR = 1, risiko kelompok terpapar sama dengan kelompok tidak terpapar
b. RR > 1, terpapar menyebabkan sakit
c. RR < 1, terpapar mencegah sakit
Contoh :
Hubungan kebiasaan merokok dengan frekuensi kasus hipertensi Di Puskesmas ngresep II , dengan menggunakan rancangan atau pendekatan kohort.


Langkah-langkah :
1. Mengidentifikasi faktor efek (variabel dependen) dan resiko (variabel independen) serta variabel-variabel pengendali (variabel kontrol).
a. Variabel dependen : frekuensi kasus hipertensi
b. Variabel independen : Merokok
c. Variabel pengendali : Umur, pekerjaan dan pengetahuan
2. Menetapkan subjek penelitian, yaitu populasi dan sampel penelitian. Misalnya yang menjadi populasi adalah semua pria di suatu wilayah atau tempat tertentu, dengan umur antara 40 sampai dengan 50 tahun, baik yang merokok maupun yang tidak merokok.
3. Mengidentifikasi subjek yang merokok (resiko positif) dari populasi tersebut, dan mengidentifikasi subjek yang tidak merokok (resiko negatif) sejumlah yang kurang lebih sama dengan kelompok merokok.
4. Mengobservasi perkembangan efek pada kelompok orang-orang yang merokok (resiko positif) dan kelompok orang yang tidak merokok (kontrol) sampai pada waktu tertentu, misal selama 10 tahun ke depan, untuk mengetahui adanya perkembangan atau kejadian hipertensi.
5. Mengolah dan menganalisis data secara deskriptif dan analitik.

pendekatan Epidemiologi

PENELITIAN EPIDEMIOLOGI
Dalam epidemiologi dikenal tiga model dasar penelitian obsevasional analitis, yakni model case-control, kohort, dan cross-sectional
I. Model case-control ( Studi Kasus Kontrol )
Studi kasus kontrol adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit, yaitu dengan membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya. Ciri-ciri studi kasus kontrol adalah pemilihan subyek berdasarkan status penyakit, untuk kemudian dilakukan pengamatan apakah subyek mempunyai riwayat terpapar faktor penelitian atau tidak.
Keuntungan, dari case-control ini adalah:
1. Dapat cepat selesai
2. Waktu pendek,maka biaya jadi murah
3. Informasi mudah didapat dari penderita atau keluarganya
4. Relatif lebih murah dan cepat memperoleh hasil serta cepat dalam persiapan survey
5. Baik dilaksanakan untuk penyakit yang jarang atau masa inkubasinya lama
6. Dapat melihat hubungan beberapa penyebab terhadap satu akibat
7. Studi case – control sangat berguna untuk meneliti masalah kesehatan yang jarang terjadi di masyarakat
8. Sangat berguna untuk mempelajari karakteristik berbagai faktor resiko yang potensial pada masalah kesehatan yang diteliti
Kerugiannya adalah:
1. Data tentang paparan didasarkan atas ingatan orang yang sedang menderita sakit atau telah lama berlalu,sehingga tidak akurat dan sering terjadi bias.
2. Populasi kasus yang diteliti hanya mereka yang masih hidup (prevalensi), sehingga juga menimbulkan bias.
3. Control seringkali tidak berasal dari populasi yang sama,juga dapat menimbulkan bias.
4. Tidak dapat dipakai untuk menentukan incidence rate dari penyakit
5. Data faktor resiko dikumpulkan setelah terjadinya penyakitnya dan sering data tidak lengkap serta tejadi penyimpangan
6. Odds Ratio tidak dapat dipergunakan untuk mengestimasi resiko relative bila masalah kesehatan yang sedang diteliti terdapat dimasyarakat lebih dari 5 %
7. Sulit untuk menghindari terjadinya bias seleksi karena populasi penelitian berasal dari dua populasi yang berbeda
8. Sulit untuk menentukan kelompok control yang tepat ( kemungkinan ada bias )
9. Karena waktu proses sudah berlalu, maka sulit untuk mendapatkan informasi yang akurat, adanya pengaruh faktor luar dan tidak dapat diketahui lebih mendalam mekanisme hubungan sebab akibat
10. Tidak dapat menentukan relative risk secara langsung
11. Sulit menentukan apakah “causa” mendahului “effect”
12. Sulit melihat pada effect ganda dari suatu causa tertentu


RUMUS
Odds Ratio =( a . d ) /( b . c)
Confidence Interval Odds Ratio = upper OR ( 1+Z/X )
= lower OR ( 1- Z/X )

INTERPRETASI
OR = 1, resiko kelompok terpapar sama dengan kelompok tidak terpapar
OR > 1, terpapar menyebabkan sakit
OR <1, terpapar mencegah sakit
Contoh :
Hubungan kebiasaan merokok dengan frekuensi kasus hipertensi Di Puskesmas ngresep II , dengan menggunakan rancangan atau pendekatan case control.

Langkah-langkah :
1. Mengidentifikasi variabel-variabel penelitian
Variabel dependen : frekuensi kasus hipertensi
Variabel independen : kebiasaan merokok
Variabel independent yang lain : pengetahuan, perilaku dan musim.
2. Menentukan subjek penelitian (populasi dan sample penelitian). Subjeknya adalah bapak yang merokok. Tempat : puskesmas ngresep II, waktu : juli.
3. Mengidentifikasi kasus, yaitu bapak yang mempunyai kebiasaan merokok.
4. Melakukan pengukuran secara retrospektif. Pengukuran terhadap kasus (bapak yang menderita hipertensi) dan dari kontrol (bapak yang tidak menderita hipertensi). Memberikan pertanyaan kepada bapak dengan metode recall dan wawancara mendalam.
5. Melakukan pengolahan dan analisis data secara deskriptif dan analitik.

ukuran frekuensi epidemilogi dan konsep brandford Hill


Ukuran frekuensi
a.       Insiden Rate ( laju insidence)
Adalah ukuran yang menunjukkan kecepatan-kejadian (baru) penyakit pada populasi.
Proporsi antara jumlah orang yang menderita penyakit dan jumlah orang dalam resiko x lamanya ia dalam resiko.
gambaran tentang frekuensi penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu waktu ttt di suatu kelompok masyarakat.
Rumus IR :
                                     Jumlah kasus baru penyakit                                                                          X 100%
Jumlah orang dalam risiko x lamanya masing-masing dalam resiko
Contoh :
Pada suatu daerah dengan jumlah penduduk tgl 1 Juli 2007 sebanyak 100.000 orang semua rentan terhadap penyakit DHF ditemukan laporan penderita baru sebagai berikut : bulan januari 50 orang, Maret 100 orang, Juni 150 orang, September 10 orang dan Desember 90 orang
IR = ( 50+ 100+150+10 +90) /100.000 X 100 % = 0,4 %
b.       Insiden Risk (Cummulative risk)
Adalah parameter yang menunjukkan taksiran probabilitas (risiko,risk) seseorang untuk terkena penyakit 9atau untuk hidup) dalam suatu jangka waktu.
Proporsi orang yang terkena penyakit diantarasemua orang yang beresiko terkena penyakit tersebut, sehingga CI selalu bernilai antara 0 dan 1.
Rumus CI =
Jumlah orang yang terkena penyakit dalam suatu jangka waktu                                           
Jumlah semua orang dalam resiko untuk terkena penyakit dalam jangka waktu itu.
Contoh:
Attack risk keracunan setelah makan olahan ikan pindang.
c.        Prevalence Rate ( point prevalence )
Adalah frekuensi penyakit lama dan baru yang berjangkit di masyarakat di suatu tempat/wilayah, negara, pada waktu tertentu.
Rumus prevalence rate :
Jumlah orang yg menderita suatu penyakit (kasus baru&lama pada suatu periode tertentu)                 X 1000
Populasi at risk/ penduduk yang mempunyai faktor resiko tertular penyakit sama
Contoh :
Satu sekolah dengan murid 100 orang, kemarin 5 orang menderita penyakit campak, dan hari ini 5 orang lainnya menderita penyakit campak
Prevalence rate = 10/100 x 1000 ‰= 100 ‰
d.       Prevalence Risk ( periode prevalence)
Adalah Pada suatu daerah penduduk pada 1 juli 2005 100.000 orang, dilaporkan keadaan penyakit A sbb: Januari 50 kasus lama dan 100 kasus baru. Maret 75 kasus lama dan 75 kasus baru, Juli 25 kasus lama dan 75 kasus baru; Sept 50 kasus lama dan 50 kasus baru dan Des. 200 kasus lama dan 200 kasus baru.
Period Prevalens rate :
(50+100) +(75+75)+(25+75)+(50+50)+(200+200) /100.000 X 100 % = 0,9 %

Daftar pustaka :
3.       Dr. Bhisma Murti.1995.PRINSIP DAN METODE RISET EPIDEMIOLOGI. Surakarta: Gadjah Mada University Press




Kriteria Bradford Hill
  1. Kekuatan asosiasi-semakin kuat asosiasi, maka semakin sedikit hal tersebut dapat merefleksikan pengaruh dari faktor-faktor etiologis lainnya. Kriteria ini membutuhkan juga presisi statistik (pengaruh minimal dari kesempatan) dan kekakuan metodologis dari kajian-kajian yang ada terhadap bias (seleksi, informasi, dan kekacauan)
  2. Konsistensi-replikasi dari temuan oleh investigator yang berbeda, saat yang berbeda, dalam tempat yang berbeda, dengan memakai metode berbeda dan kemampuan untuk menjelaskan dengan meyakinkan jika hasilnya berbeda.
  3. Spesifisitas dari asosiasi-ada hubungan yang melekat antara spesifisitas dan kekuatan yang mana semakin akurat dalam mendefinisikan penyakit dan penularannya, semakin juat hubungan yang diamati tersebut. Tetapi, fakta bahwa satu agen berkontribusi terhadap penyakit-penyakit beragam bukan merupakan bukti yang melawan peran dari setiap penyakit.
  4. Temporalitas-kemampuan untuk mendirikan kausa dugaan bahka pada saat efek sementara diperkirakan
  5. Tahapan biologis-perubahan yang meningkat dalam konjungsi dengan perubahan kecocokan dalam penularan verifikasi terhadap hubungan dosis-respon konsisten dengan model konseptual yang dihipotesakan.
  6. Masuk akal-kami lebih siap untuk menerima kasus dengan hubungan yang konsisten dengan pengetahuan dan keyakinan kami secara umum. Telah jelas bahwa kecenderungan ini memiliki lubang-lugang kosong, tetapi akal sehat selalu saja membimbing kita
  7. Koherensi-bagaimana semua observasi dapat cocok dengan model yang dihipotesakan untuk membentuk gambaran yang koheren?
  8. Eksperimen-demonstrasi yang berada dalam kondisi yang terkontrol merubah kausa bukaan untuk hasil yang merupakan nilai yang besar, beberapa orang mungkin, mengatakannya sangat diperlukan, untuk menyimpulkan kausalitas
  9. Analogi-kami lebih siap lagi untuk menerima argumentasi-argumentasi yang menyerupai dengan yang kami dapatkan
Kekuatan asosiasi
  • ekses-ekses yang telah diketahui sebelumnya dari penyakit dan diasosiasikan dengan bukaan
  • besaran dari rasio kejadian bukaan terhadap kejadian tidak ada bukaan
  • seberapa kuatkah “kuat” itu? Perhatikan, contoh:
Resiko relatif
“Arti”
1.1-1.3
Lemah
1.4-1.7
Agak kuat
1.8-3.0
Rata-rata
3-8
Kuat
8-16
Sangat kuat
16-40
Dramatis
40+
Tidak dapat ditangani

Asosiasi yang kuat tampak kurang menjadi hasil dari faktor-faktor etiologis lainnya dibanding dengan asosiasi yang lemah.
Telur, Merokok dan kanker paru-paru; Merokok dan CHD
Konsistensi
Asosiasi telah “diamati berulang kali oleh orang yang berbeda, tempat yang berbeda, keadaan dan waktu yang berbeda pula”Konsistensi membantu dalam perlindungan dari munculnya kesalahan atau artefak. Tetapi hasil yang diobservasi dengan konsisten tidak langsung bebas dari bias, terutama dalam sejumlah kecil kajian, dan hasil dalam populasi yang berbeda akan sama sekali berbeda jika hubungan kausal dipengaruhi olhe ada atau tidak adanya variabel-variabel pemodifikasi.
Spesifisitas
Hubungan antara bukaan dan penyakit adalah spesifik dalam beragam cara-penyakit spesifik terhubung dengan bukaan yang spesifik pula, tipe spesifik dari bukaan lebih efektif, dan seterusnya. Ada hubungan dekat antara spesifisitas dan kekuatan dimana didefinisikan lebih akurat untuk penyakit dan bukaan, akan semakin kuat resiko relatif yang diobservasi.
Misalnya., Schildkraut dan Thompson (Am J Epidemiol 1988; 128:456) mempertimbangkan bahwa pengumpulan familial yang mereka amati untuk kanker rahim tampaknya bukan karena bias informasi keluarga sebab dari spesifisitas hubungan dalam kontrol-kasus berbeda dalam sejarah keluarga (a) melibatkan penularan tetapi tidak merupakan batas penyakit dan (b) lebih besar kemungkinan untuk rahim dibanding untuk kanker.
Tetapi adanya fakta bahwa satu agen berkontribusi terhadap banyak penyakit bukan merupakan bukti yang menyanggah perannya dalam setiap penyakit. Sebagai contoh, rokok dapat menyebabkan banyak penyakit.
Temporalitas
Pertama adalah bukaan, kemudian penyakit.
Terkadang sangat sulit untuk mendokumentasikan rangkaian, terutama jika ada tundaan yang panjang antara bukaan dan penyakit, penyakit subklinis, bukaan (misalnya perlakuan) yang membawa manifestasi awal dari penyakit.
Tahapan Biologis
Verifikasi terhadap hubungan respon-dosis konsisten dengan model konseptual hipotesis.
Harus memasukkan ambang batas dan efek penjenuhan, karakteristik bukaan.
Masuk akal
Apakah asosiasi masuk akal secara biologis
Misalnya, estrogen dan kanker endometrial, estrogen dan kanker payudara, kontrasepsi oral dan kanker payudara.
Koherensi
Apakah interpretasi kausal cocok dengan fakta yang diketahui dalam sejarah alam dan biologi dari penyakit, termasuk juga pengetahuan tentang distribusi dari bukaan dan penyakit (orang, tempat, waktu) dan hasil dari eksperimen laboratorium. Apakah semua “potongan telah cocok tempatnya”
Bukti-bukti eksperimental
Beberapa tipe desain kajian dapat memberikan bukti yang lebih meyakinkan dibanding desain kajian jenis lainnya. Kajian-kajian intervensi dapat menyediakan dukungan yang terkuat, terutama ketika bukaan dapat dilakukan secara acak. Karena tidak etis dan/atau tidak praktis untuk menentukan banyak bukaan sebagai kajian epidemiologis. Satu alternatif yang mungkin adalah dengan menghilangkan bukaan dan melihat apakah penyakit menurun, kecuali jika proses kausal dianggap tidak dapat lagi dibalikkan.
Misalnya, pellagra, kudis, HDFP, LRC-CPPT, MRFIT.
Analogi
Apakah pernah ada situasi yang serupa di masa lalu? (misalnya rubella, thalidomide selama kehamilan)
Pengecualian bagi temporalitas, tidak ada kriteria yang absolut, karena asosiasi kausal dapat sangat lemah, relatif non-spesifik, diobservasi tidak konsisten, dan dalam konflik dengan pengungkapan penmahaman biologis. Tetapi, setiap kriteria yang memperkuat jaminan kami dalam mencapai penilaian kausalitas.
Beberapa dari kriteria (misalnya, koherensi, tahapan biologis, spesifisitas, dan mungkin juga kekuatan) dapat dirumuskan dalam bentuk isu yang lebih umum dari konsistensi data yang diobservasi dengan model hipotesisasi etiologis (biasanya biologis). Sebagai contoh, tahapan biologis tidak harus monoton, seperti dalam kasus dosis radiasi tinggi yang mana akan mengarah kepada pembunuhan sel-sel dan karena itu menurunkan kemungkinan perkembangan tumor. Serupa dengan itu, spesifisitas dapat dipakai pada situasi-situasi tertentu tetapi tidak untuk situasi lain, tergantung pada proses patofisiologis yangdihipotesiskan.
Pencarian Kausa versus Pembuatan-Keputusan
Kesimpulan kausal sangat penting secara fundamental untuk memajukan pengetahuan ilmiah. Pendirian Popper adalah dalam sifat akhirnya, setiap teori itu tentatif. Setiap teori dapat secara potensial dapat dijatuhkan oleh data yang tidak cocok yang tidak mungkin dijadikan pertanyaan. Maka berbagai sudut pandang, pengetahuan ilmiah dan kemajuannya selalu melalui beragam percoban untuk menyangkal teori-teori yang telah ada.
Dengan memperhatikan isu-isu dalam kesimpulan kausal dalam epidemiologi, walaupun, akan sangat berguna untuk membuat pembedaan antara kesimpulan yang ditujukan untuk mendirikan etiologi dan kesimpulan yang ditujukan untuk mendapatkan keputusan tindakan atau keputusan tidak ada tindakan. Pendirian Popper kurang bisa dialikasikan dalam kesimpulan kausal untuk mendukung pembuatan-keputusan, karena pentingnya tindakan sesuai dengan waktu. Walaupun keputusan individual dan kolektif seringkali didasarkan pada konsiderasi selain dari pengetahuan ilmiah, dan bahkan tanpa data kausal valid sekalipun, kesimpulan kausal sangat fundamental dalam pembuatan-keputusan. Lebih jauh lagi, penilaian kausalitas-akhirnya oleh kewenangan pemerintah dan publik yang lebih besar-merupakan basis kritis untuk resolusi dari isu-isu kontroversial, misalnya, pembatasan produk-produk seperti tembakau, saccharin, kopi, kontrasepsi oral, senjata genggam; kontrol polusi dan seterusnya. Mereka yang bertindak dapat memuji kata-kata Hill:
Semua kerja ilmiah itu tidak lengkap-apakah itu eksperimental ataupun observasional. Semua kerja ilmiah itu berkemungkinan untuk ditumbangkan atau dimodifikasi oleh pengetahuan yang lebih maju. Yang mana tidak memberikan kita kebebasan untuk mengabaikan pengetahuan yag telah kita miliki, atau menangguhkan tindakan yang tampaknya dibutuhkan setiap waktu.
A. B. Hill, The Environment and causation, hal. 300
Konsep-konsep paralel dalam kesimpulan epidemiologis dan proses-proses legal.
Seseorang dapat menarik analogi yang sangat menarik antara proses dalam pembuatan-keputusan pada epidemiologi dan pada proses legal. Pada kedua proses tersebut, keputusan tentang fakta harus dicapai berdasarkan bukti-bukti yang tersedia. Jika tidak ada kebenaran yang terungkap (misalnya bukti-bukti matematis), maka kedua pendekatan di atas menekankan integritas dari proses pengumpulan dan presentasi informasi, representasi yang memadai dari setiap pandangan pendapat, bukti, standar khusus bagi beragam konsekuensi potensial. Kedua area menekankan  pada keamanan prosedural (metodologis), karena fakta dalam situasi tertentu secara umum hanya terjadi ketika ada temuan dalam proses investigasi yang memadai. Serupa dengan hal tersebut, sangat penting bagi keduanya, epidemiologi dan hukum agar tidak hanya keadilan (misalnya dengan memakai prosedur/metodologi yang tepat) yang diperhatikan, tetapi juga bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh lainnya. Dalam hukum, pola  penilaian instruksi memberikan basis bagi penilai untuk mengukur bukti-bukti. Serupa dengan itu, epidemiologi memiliki kriteria-kriteria untuk kesimpulan kausal.
Hukum-hukum bukti legal memberikan beberapa paralel dengan pendekatan epidemiologi untuk mengukur bukti-bukti dan menyimpulkan kausal. Dalam kedua sistem, keterandalan informasi (data) adalah rasional utama. Beberapa contohnya adalah:
  • Hukum Hearsay: bukti tidak dapat diterima jika berbasis pada desas-desus dan bukan berdasarkan observasi langsung
Contoh: jika seorang dokter bersaksi bahwa pasiennya telah berkata dia mengendarai kendaraan bermotor di sisi jalan yang salah, maka pengakuan tersebut adalah bukti desas-desus dan karena itu tidak diperbolehkan untuk dipakai. Jika dokter tersebut tidak melihat langsung pasiennya mengendarai kendaraan bermotor di sisi jalan yang salah.
Ada perkecualian: sumber-sumber pemerintah, catatan-catatan bisnis yang diambil selama kegiatan tetap dalam bisnis (tanpa mengalami tuntutan hukum), catatan-catatan lainnya yang secara rutin dibuat adalah bukti-bukti yang diperbolehkan.
  • Patung orang mati: pengakuan tentang pembicaraan dengan seseorang yang sekarang telahmeninggal tidak diperbolehkan (karena dia, orang mati tersebut tidak dapat memberi respon).

Pada hukum dan etiologi, ada hubungan antara keseriusan tindakan  dan derajat bukti yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan. Beberapa contoh disini mempelrihatkan perluanya penelitian, perebutan dan penilaian:
  • Untuk mengeluarkan surat pencarian, pengadilan harus menemukan bahwa ada kecurigaan yang bersebab bahwa objek yang dicari dapat ditemukan
  • Untuk mengeluarkan surat pencarian, pengadilan harus menemukan bahwa ada kausa kemungkinan bahwa seseorang yangakan dicari telah melakukan kejahatan.
  • Untuk petugas kepolisian dalam menangkap seseorang tanpa surat pencarian, maka petugas tersebut harus memiliki kausa yang masuk akal untuk yakin bahwa sebuah kejahatan akan terjadi atau baru saja terjadi.
  • Untuk mengeluarkan dakwaan, para juri harus menemukan adanya kasus tingkat pertama yang memperlihatkan seorang individu melakukan kejahatan
  • Untuk keputusan yang dijatuhkan kepada terdakwa dalam tuntutan perdata, hakim atau juri harus mencari “sejumlah besar bukti-bukti”
  • Untuk menghukum terdakwa dalam percobaan kriminal, juri harus menemukan bahwa bukti-bukti didirikan berdasarkan keadaan yang “tidak diragukan lagi” terhadap terdakwa.
  • Untuk memutuskan seseorang bersalah yang sepenuhnya berdasarkan pada bukti-bukti tidak langsung, maka juri harus puas dengan setiap hipotesis masuk akal telah dikeluarkan kecuali bahwa terdakwa itu bersalah (Jika ada bukti-bukti yang nyata, maka hipotesis tidak terlalu dibutuhkan)
(di Skotlandia, ada keputusan hukum “tidak terbukti”, yang mana tetap paralel dengan “penilaian” epidemiologis).
Pada hukum dan epidemiologi, fakta bahwa setiap kasus individu selalu menjadi faktor penting dalam keputusan, dan keputusan secara umum dipengaruhi oleh konsiderasi dari:
  • Sepenting apakah untuk bertindak?
  • Sedekat apa bahaya itu?
  • Seserius apa bahaya itu nantinya?
Secara umum lebih bagus untuk berbuat salah di sisi yang aman (walaupun dalam hukum hal tersebut tetap menjadi implisit, dan tidak pernah menjadi sebab yang eksplisit).


latar belakang DBD


Direktorat Jendral Pemberantasan  Penyakit Menular dan Penyehatan lingkungan Pemukiman (PPM dan PLP) menggalakan upaya-upaya untuk mencegah dan memberantas penyakit menular. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain : sanitasi perumahan, pengendalian vektor dan binatang pengganggu. Pengendalian vektor dan serangga pengganggu mempunyai tujuan untuk menurunkan kepadatan populasi vektor hingga tingkat yang tidak membahayakan masyakarat. Salah satu upaya pengendalian dan pemberantasan serangga pengganggu adalah pengendalian nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD).
 Pemberantasan penyakit DBD dapat dilakukan berbagai macam cara. Pemberantasan tersebut antara lain : mematikan salah satu mata rantai siklus hidup dan mencegah terjadinya reproduksi (membuat mandul) pada serangga sasaran.
 Pemberantasan  penyakit DBD dengan menghambat  siklus hidup nyamuk Aedes aegypti adalah penggunaan insektisida (larvasida). Pencegahan dan pengendalian dengan cara ini merupakan cara yang umum dipakai oleh masyarakat.
Penggunaan larvasida, perlu diperhatikan untuk  mencegah terjadinya resistensi pada serangga sasaran. Sejak tahun 1973 hingga tahun 2000, penduduk kota yogyakarta menggunakan abate (temephos 1 %) dalam usaha pemberantasan penyakit DBD. Pemberantasan  telah dilaksanakan secara luas, khususnya di daerah-daerah yang endemis DBD. Cara pemberantasannya adalah dengan membubuhkan Abate (temephos 1 %)  pada semua tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dan plastik.
 Berdasarkan laporan WHO (1978) menyatakan bahwa larva Ae. aegypti telah mengalami resistensi terhadap temephos 1% yang digunakan untuk memberantas penyakit DBD. Oleh karena itu awal tahun 2001, temephos 1 % diganti dengan Sumilarv 0,5 G (pyriproxyfen 0,5%) (Amru,Munif.,1997).
 Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada tahun 2009 kasus DBD mencapai 189 kasus. Daerah yang tercatat sebagai daerah endemis yang salah satunya di wilayah kerja Puskesmas Gedongtengen memiliki yang  kasus DBD sebanyak 3 kasus positif DBD.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada  wilayah kerja Puskesmas Gedongtengen meliputi 2 kelurahan. Kasus DBD yang tercacat pada tahun 2006 mencapai 33 kasus, tahun 2007 mencapai 23 kasus,  pada tahun 2008 - 2009 sebanyak 14 kasus. Dengan demikian, kasus di Puskesmas gedotengen menurun, namun masih terdapat warga yang positif DBD sehingga perlu adanya kegiatan pengendalian.
Pada tahun 2008-2009, diketahui kelurahan Pringgokusuman sebanyak 6 kasus dan Sosromenduran sebanyak 8 kasus. Berdasarkan 14 kasus tersebut 1 orang dinyatakan meninggal
Kelurahan Pringgokusuman selama tahun  2009 diketahui ABJ sebesar 0,5 % dan CI sebesar 99,5 yang meliputi 23 Rw, 92 Rt. Sedangkan Sosromenduran pada tahun 2009, ABJ sebesar 0,8 % dan CI sebesar 99,2 % yang meliputi 14 Rw, 55 Rt.  Dari dua kelurahan kelurahan pringgokusuman memiliki angka bebas jentik terendah sehingga perlu adanya pengendalian yang terpadu.
Upaya pengendalian telah dilakukan oleh Puskesmas di Kelurahan Pringgokusuman adalah menggunakan temephos 1 %, dan pelaksanaan fogging. Namun kasus DBD belum mengalami penurunan. Setiap bulan  terdapat warga yang positif DBD pada tahun 2006 hingga 2007.
Letak Kelurahan Pringgokusuman di daerah pinggir sungai, dan dekat kompleks perhotelan dan kawasan padat penduduk. Letak kelurahan ini dapat menimbulkan bertambahnya kasus DBD. Pelaksanaan abatisasi oleh kader kesehatan tidak dilakukan secara maksimal.  Namun setelah tahun 2000, dengan program pemantauan jentik berkala dan menggunakan sumilarv (pyriproxyfen 0,5%)   penyakit DBD menjadi menurun.
Pelaksanaan pemberantasan penyakit DBD di Kelurahan Pringgokusuman dapat menurun dengan adanya program pemantauan jentik berkala dan pemakaian  sumilarv (pyriproxyfen 0,5%). Sebelumnya dengan menggunakan abate, penyakit DBD belum dapat mengalami penurunan.
Mengingat uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui Efektivitas Penggunaan temephos 1%  dan pyriproxyfen 0,5% Terhadap Kematian Larva Aedes aegypti di Kelurahan Pringgokusuman Yogyakarta 2010.