ukuran frekuensi epidemilogi dan konsep brandford Hill


Ukuran frekuensi
a.       Insiden Rate ( laju insidence)
Adalah ukuran yang menunjukkan kecepatan-kejadian (baru) penyakit pada populasi.
Proporsi antara jumlah orang yang menderita penyakit dan jumlah orang dalam resiko x lamanya ia dalam resiko.
gambaran tentang frekuensi penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu waktu ttt di suatu kelompok masyarakat.
Rumus IR :
                                     Jumlah kasus baru penyakit                                                                          X 100%
Jumlah orang dalam risiko x lamanya masing-masing dalam resiko
Contoh :
Pada suatu daerah dengan jumlah penduduk tgl 1 Juli 2007 sebanyak 100.000 orang semua rentan terhadap penyakit DHF ditemukan laporan penderita baru sebagai berikut : bulan januari 50 orang, Maret 100 orang, Juni 150 orang, September 10 orang dan Desember 90 orang
IR = ( 50+ 100+150+10 +90) /100.000 X 100 % = 0,4 %
b.       Insiden Risk (Cummulative risk)
Adalah parameter yang menunjukkan taksiran probabilitas (risiko,risk) seseorang untuk terkena penyakit 9atau untuk hidup) dalam suatu jangka waktu.
Proporsi orang yang terkena penyakit diantarasemua orang yang beresiko terkena penyakit tersebut, sehingga CI selalu bernilai antara 0 dan 1.
Rumus CI =
Jumlah orang yang terkena penyakit dalam suatu jangka waktu                                           
Jumlah semua orang dalam resiko untuk terkena penyakit dalam jangka waktu itu.
Contoh:
Attack risk keracunan setelah makan olahan ikan pindang.
c.        Prevalence Rate ( point prevalence )
Adalah frekuensi penyakit lama dan baru yang berjangkit di masyarakat di suatu tempat/wilayah, negara, pada waktu tertentu.
Rumus prevalence rate :
Jumlah orang yg menderita suatu penyakit (kasus baru&lama pada suatu periode tertentu)                 X 1000
Populasi at risk/ penduduk yang mempunyai faktor resiko tertular penyakit sama
Contoh :
Satu sekolah dengan murid 100 orang, kemarin 5 orang menderita penyakit campak, dan hari ini 5 orang lainnya menderita penyakit campak
Prevalence rate = 10/100 x 1000 ‰= 100 ‰
d.       Prevalence Risk ( periode prevalence)
Adalah Pada suatu daerah penduduk pada 1 juli 2005 100.000 orang, dilaporkan keadaan penyakit A sbb: Januari 50 kasus lama dan 100 kasus baru. Maret 75 kasus lama dan 75 kasus baru, Juli 25 kasus lama dan 75 kasus baru; Sept 50 kasus lama dan 50 kasus baru dan Des. 200 kasus lama dan 200 kasus baru.
Period Prevalens rate :
(50+100) +(75+75)+(25+75)+(50+50)+(200+200) /100.000 X 100 % = 0,9 %

Daftar pustaka :
3.       Dr. Bhisma Murti.1995.PRINSIP DAN METODE RISET EPIDEMIOLOGI. Surakarta: Gadjah Mada University Press




Kriteria Bradford Hill
  1. Kekuatan asosiasi-semakin kuat asosiasi, maka semakin sedikit hal tersebut dapat merefleksikan pengaruh dari faktor-faktor etiologis lainnya. Kriteria ini membutuhkan juga presisi statistik (pengaruh minimal dari kesempatan) dan kekakuan metodologis dari kajian-kajian yang ada terhadap bias (seleksi, informasi, dan kekacauan)
  2. Konsistensi-replikasi dari temuan oleh investigator yang berbeda, saat yang berbeda, dalam tempat yang berbeda, dengan memakai metode berbeda dan kemampuan untuk menjelaskan dengan meyakinkan jika hasilnya berbeda.
  3. Spesifisitas dari asosiasi-ada hubungan yang melekat antara spesifisitas dan kekuatan yang mana semakin akurat dalam mendefinisikan penyakit dan penularannya, semakin juat hubungan yang diamati tersebut. Tetapi, fakta bahwa satu agen berkontribusi terhadap penyakit-penyakit beragam bukan merupakan bukti yang melawan peran dari setiap penyakit.
  4. Temporalitas-kemampuan untuk mendirikan kausa dugaan bahka pada saat efek sementara diperkirakan
  5. Tahapan biologis-perubahan yang meningkat dalam konjungsi dengan perubahan kecocokan dalam penularan verifikasi terhadap hubungan dosis-respon konsisten dengan model konseptual yang dihipotesakan.
  6. Masuk akal-kami lebih siap untuk menerima kasus dengan hubungan yang konsisten dengan pengetahuan dan keyakinan kami secara umum. Telah jelas bahwa kecenderungan ini memiliki lubang-lugang kosong, tetapi akal sehat selalu saja membimbing kita
  7. Koherensi-bagaimana semua observasi dapat cocok dengan model yang dihipotesakan untuk membentuk gambaran yang koheren?
  8. Eksperimen-demonstrasi yang berada dalam kondisi yang terkontrol merubah kausa bukaan untuk hasil yang merupakan nilai yang besar, beberapa orang mungkin, mengatakannya sangat diperlukan, untuk menyimpulkan kausalitas
  9. Analogi-kami lebih siap lagi untuk menerima argumentasi-argumentasi yang menyerupai dengan yang kami dapatkan
Kekuatan asosiasi
  • ekses-ekses yang telah diketahui sebelumnya dari penyakit dan diasosiasikan dengan bukaan
  • besaran dari rasio kejadian bukaan terhadap kejadian tidak ada bukaan
  • seberapa kuatkah “kuat” itu? Perhatikan, contoh:
Resiko relatif
“Arti”
1.1-1.3
Lemah
1.4-1.7
Agak kuat
1.8-3.0
Rata-rata
3-8
Kuat
8-16
Sangat kuat
16-40
Dramatis
40+
Tidak dapat ditangani

Asosiasi yang kuat tampak kurang menjadi hasil dari faktor-faktor etiologis lainnya dibanding dengan asosiasi yang lemah.
Telur, Merokok dan kanker paru-paru; Merokok dan CHD
Konsistensi
Asosiasi telah “diamati berulang kali oleh orang yang berbeda, tempat yang berbeda, keadaan dan waktu yang berbeda pula”Konsistensi membantu dalam perlindungan dari munculnya kesalahan atau artefak. Tetapi hasil yang diobservasi dengan konsisten tidak langsung bebas dari bias, terutama dalam sejumlah kecil kajian, dan hasil dalam populasi yang berbeda akan sama sekali berbeda jika hubungan kausal dipengaruhi olhe ada atau tidak adanya variabel-variabel pemodifikasi.
Spesifisitas
Hubungan antara bukaan dan penyakit adalah spesifik dalam beragam cara-penyakit spesifik terhubung dengan bukaan yang spesifik pula, tipe spesifik dari bukaan lebih efektif, dan seterusnya. Ada hubungan dekat antara spesifisitas dan kekuatan dimana didefinisikan lebih akurat untuk penyakit dan bukaan, akan semakin kuat resiko relatif yang diobservasi.
Misalnya., Schildkraut dan Thompson (Am J Epidemiol 1988; 128:456) mempertimbangkan bahwa pengumpulan familial yang mereka amati untuk kanker rahim tampaknya bukan karena bias informasi keluarga sebab dari spesifisitas hubungan dalam kontrol-kasus berbeda dalam sejarah keluarga (a) melibatkan penularan tetapi tidak merupakan batas penyakit dan (b) lebih besar kemungkinan untuk rahim dibanding untuk kanker.
Tetapi adanya fakta bahwa satu agen berkontribusi terhadap banyak penyakit bukan merupakan bukti yang menyanggah perannya dalam setiap penyakit. Sebagai contoh, rokok dapat menyebabkan banyak penyakit.
Temporalitas
Pertama adalah bukaan, kemudian penyakit.
Terkadang sangat sulit untuk mendokumentasikan rangkaian, terutama jika ada tundaan yang panjang antara bukaan dan penyakit, penyakit subklinis, bukaan (misalnya perlakuan) yang membawa manifestasi awal dari penyakit.
Tahapan Biologis
Verifikasi terhadap hubungan respon-dosis konsisten dengan model konseptual hipotesis.
Harus memasukkan ambang batas dan efek penjenuhan, karakteristik bukaan.
Masuk akal
Apakah asosiasi masuk akal secara biologis
Misalnya, estrogen dan kanker endometrial, estrogen dan kanker payudara, kontrasepsi oral dan kanker payudara.
Koherensi
Apakah interpretasi kausal cocok dengan fakta yang diketahui dalam sejarah alam dan biologi dari penyakit, termasuk juga pengetahuan tentang distribusi dari bukaan dan penyakit (orang, tempat, waktu) dan hasil dari eksperimen laboratorium. Apakah semua “potongan telah cocok tempatnya”
Bukti-bukti eksperimental
Beberapa tipe desain kajian dapat memberikan bukti yang lebih meyakinkan dibanding desain kajian jenis lainnya. Kajian-kajian intervensi dapat menyediakan dukungan yang terkuat, terutama ketika bukaan dapat dilakukan secara acak. Karena tidak etis dan/atau tidak praktis untuk menentukan banyak bukaan sebagai kajian epidemiologis. Satu alternatif yang mungkin adalah dengan menghilangkan bukaan dan melihat apakah penyakit menurun, kecuali jika proses kausal dianggap tidak dapat lagi dibalikkan.
Misalnya, pellagra, kudis, HDFP, LRC-CPPT, MRFIT.
Analogi
Apakah pernah ada situasi yang serupa di masa lalu? (misalnya rubella, thalidomide selama kehamilan)
Pengecualian bagi temporalitas, tidak ada kriteria yang absolut, karena asosiasi kausal dapat sangat lemah, relatif non-spesifik, diobservasi tidak konsisten, dan dalam konflik dengan pengungkapan penmahaman biologis. Tetapi, setiap kriteria yang memperkuat jaminan kami dalam mencapai penilaian kausalitas.
Beberapa dari kriteria (misalnya, koherensi, tahapan biologis, spesifisitas, dan mungkin juga kekuatan) dapat dirumuskan dalam bentuk isu yang lebih umum dari konsistensi data yang diobservasi dengan model hipotesisasi etiologis (biasanya biologis). Sebagai contoh, tahapan biologis tidak harus monoton, seperti dalam kasus dosis radiasi tinggi yang mana akan mengarah kepada pembunuhan sel-sel dan karena itu menurunkan kemungkinan perkembangan tumor. Serupa dengan itu, spesifisitas dapat dipakai pada situasi-situasi tertentu tetapi tidak untuk situasi lain, tergantung pada proses patofisiologis yangdihipotesiskan.
Pencarian Kausa versus Pembuatan-Keputusan
Kesimpulan kausal sangat penting secara fundamental untuk memajukan pengetahuan ilmiah. Pendirian Popper adalah dalam sifat akhirnya, setiap teori itu tentatif. Setiap teori dapat secara potensial dapat dijatuhkan oleh data yang tidak cocok yang tidak mungkin dijadikan pertanyaan. Maka berbagai sudut pandang, pengetahuan ilmiah dan kemajuannya selalu melalui beragam percoban untuk menyangkal teori-teori yang telah ada.
Dengan memperhatikan isu-isu dalam kesimpulan kausal dalam epidemiologi, walaupun, akan sangat berguna untuk membuat pembedaan antara kesimpulan yang ditujukan untuk mendirikan etiologi dan kesimpulan yang ditujukan untuk mendapatkan keputusan tindakan atau keputusan tidak ada tindakan. Pendirian Popper kurang bisa dialikasikan dalam kesimpulan kausal untuk mendukung pembuatan-keputusan, karena pentingnya tindakan sesuai dengan waktu. Walaupun keputusan individual dan kolektif seringkali didasarkan pada konsiderasi selain dari pengetahuan ilmiah, dan bahkan tanpa data kausal valid sekalipun, kesimpulan kausal sangat fundamental dalam pembuatan-keputusan. Lebih jauh lagi, penilaian kausalitas-akhirnya oleh kewenangan pemerintah dan publik yang lebih besar-merupakan basis kritis untuk resolusi dari isu-isu kontroversial, misalnya, pembatasan produk-produk seperti tembakau, saccharin, kopi, kontrasepsi oral, senjata genggam; kontrol polusi dan seterusnya. Mereka yang bertindak dapat memuji kata-kata Hill:
Semua kerja ilmiah itu tidak lengkap-apakah itu eksperimental ataupun observasional. Semua kerja ilmiah itu berkemungkinan untuk ditumbangkan atau dimodifikasi oleh pengetahuan yang lebih maju. Yang mana tidak memberikan kita kebebasan untuk mengabaikan pengetahuan yag telah kita miliki, atau menangguhkan tindakan yang tampaknya dibutuhkan setiap waktu.
A. B. Hill, The Environment and causation, hal. 300
Konsep-konsep paralel dalam kesimpulan epidemiologis dan proses-proses legal.
Seseorang dapat menarik analogi yang sangat menarik antara proses dalam pembuatan-keputusan pada epidemiologi dan pada proses legal. Pada kedua proses tersebut, keputusan tentang fakta harus dicapai berdasarkan bukti-bukti yang tersedia. Jika tidak ada kebenaran yang terungkap (misalnya bukti-bukti matematis), maka kedua pendekatan di atas menekankan integritas dari proses pengumpulan dan presentasi informasi, representasi yang memadai dari setiap pandangan pendapat, bukti, standar khusus bagi beragam konsekuensi potensial. Kedua area menekankan  pada keamanan prosedural (metodologis), karena fakta dalam situasi tertentu secara umum hanya terjadi ketika ada temuan dalam proses investigasi yang memadai. Serupa dengan hal tersebut, sangat penting bagi keduanya, epidemiologi dan hukum agar tidak hanya keadilan (misalnya dengan memakai prosedur/metodologi yang tepat) yang diperhatikan, tetapi juga bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh lainnya. Dalam hukum, pola  penilaian instruksi memberikan basis bagi penilai untuk mengukur bukti-bukti. Serupa dengan itu, epidemiologi memiliki kriteria-kriteria untuk kesimpulan kausal.
Hukum-hukum bukti legal memberikan beberapa paralel dengan pendekatan epidemiologi untuk mengukur bukti-bukti dan menyimpulkan kausal. Dalam kedua sistem, keterandalan informasi (data) adalah rasional utama. Beberapa contohnya adalah:
  • Hukum Hearsay: bukti tidak dapat diterima jika berbasis pada desas-desus dan bukan berdasarkan observasi langsung
Contoh: jika seorang dokter bersaksi bahwa pasiennya telah berkata dia mengendarai kendaraan bermotor di sisi jalan yang salah, maka pengakuan tersebut adalah bukti desas-desus dan karena itu tidak diperbolehkan untuk dipakai. Jika dokter tersebut tidak melihat langsung pasiennya mengendarai kendaraan bermotor di sisi jalan yang salah.
Ada perkecualian: sumber-sumber pemerintah, catatan-catatan bisnis yang diambil selama kegiatan tetap dalam bisnis (tanpa mengalami tuntutan hukum), catatan-catatan lainnya yang secara rutin dibuat adalah bukti-bukti yang diperbolehkan.
  • Patung orang mati: pengakuan tentang pembicaraan dengan seseorang yang sekarang telahmeninggal tidak diperbolehkan (karena dia, orang mati tersebut tidak dapat memberi respon).

Pada hukum dan etiologi, ada hubungan antara keseriusan tindakan  dan derajat bukti yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan. Beberapa contoh disini mempelrihatkan perluanya penelitian, perebutan dan penilaian:
  • Untuk mengeluarkan surat pencarian, pengadilan harus menemukan bahwa ada kecurigaan yang bersebab bahwa objek yang dicari dapat ditemukan
  • Untuk mengeluarkan surat pencarian, pengadilan harus menemukan bahwa ada kausa kemungkinan bahwa seseorang yangakan dicari telah melakukan kejahatan.
  • Untuk petugas kepolisian dalam menangkap seseorang tanpa surat pencarian, maka petugas tersebut harus memiliki kausa yang masuk akal untuk yakin bahwa sebuah kejahatan akan terjadi atau baru saja terjadi.
  • Untuk mengeluarkan dakwaan, para juri harus menemukan adanya kasus tingkat pertama yang memperlihatkan seorang individu melakukan kejahatan
  • Untuk keputusan yang dijatuhkan kepada terdakwa dalam tuntutan perdata, hakim atau juri harus mencari “sejumlah besar bukti-bukti”
  • Untuk menghukum terdakwa dalam percobaan kriminal, juri harus menemukan bahwa bukti-bukti didirikan berdasarkan keadaan yang “tidak diragukan lagi” terhadap terdakwa.
  • Untuk memutuskan seseorang bersalah yang sepenuhnya berdasarkan pada bukti-bukti tidak langsung, maka juri harus puas dengan setiap hipotesis masuk akal telah dikeluarkan kecuali bahwa terdakwa itu bersalah (Jika ada bukti-bukti yang nyata, maka hipotesis tidak terlalu dibutuhkan)
(di Skotlandia, ada keputusan hukum “tidak terbukti”, yang mana tetap paralel dengan “penilaian” epidemiologis).
Pada hukum dan epidemiologi, fakta bahwa setiap kasus individu selalu menjadi faktor penting dalam keputusan, dan keputusan secara umum dipengaruhi oleh konsiderasi dari:
  • Sepenting apakah untuk bertindak?
  • Sedekat apa bahaya itu?
  • Seserius apa bahaya itu nantinya?
Secara umum lebih bagus untuk berbuat salah di sisi yang aman (walaupun dalam hukum hal tersebut tetap menjadi implisit, dan tidak pernah menjadi sebab yang eksplisit).


latar belakang DBD


Direktorat Jendral Pemberantasan  Penyakit Menular dan Penyehatan lingkungan Pemukiman (PPM dan PLP) menggalakan upaya-upaya untuk mencegah dan memberantas penyakit menular. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain : sanitasi perumahan, pengendalian vektor dan binatang pengganggu. Pengendalian vektor dan serangga pengganggu mempunyai tujuan untuk menurunkan kepadatan populasi vektor hingga tingkat yang tidak membahayakan masyakarat. Salah satu upaya pengendalian dan pemberantasan serangga pengganggu adalah pengendalian nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD).
 Pemberantasan penyakit DBD dapat dilakukan berbagai macam cara. Pemberantasan tersebut antara lain : mematikan salah satu mata rantai siklus hidup dan mencegah terjadinya reproduksi (membuat mandul) pada serangga sasaran.
 Pemberantasan  penyakit DBD dengan menghambat  siklus hidup nyamuk Aedes aegypti adalah penggunaan insektisida (larvasida). Pencegahan dan pengendalian dengan cara ini merupakan cara yang umum dipakai oleh masyarakat.
Penggunaan larvasida, perlu diperhatikan untuk  mencegah terjadinya resistensi pada serangga sasaran. Sejak tahun 1973 hingga tahun 2000, penduduk kota yogyakarta menggunakan abate (temephos 1 %) dalam usaha pemberantasan penyakit DBD. Pemberantasan  telah dilaksanakan secara luas, khususnya di daerah-daerah yang endemis DBD. Cara pemberantasannya adalah dengan membubuhkan Abate (temephos 1 %)  pada semua tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dan plastik.
 Berdasarkan laporan WHO (1978) menyatakan bahwa larva Ae. aegypti telah mengalami resistensi terhadap temephos 1% yang digunakan untuk memberantas penyakit DBD. Oleh karena itu awal tahun 2001, temephos 1 % diganti dengan Sumilarv 0,5 G (pyriproxyfen 0,5%) (Amru,Munif.,1997).
 Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada tahun 2009 kasus DBD mencapai 189 kasus. Daerah yang tercatat sebagai daerah endemis yang salah satunya di wilayah kerja Puskesmas Gedongtengen memiliki yang  kasus DBD sebanyak 3 kasus positif DBD.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada  wilayah kerja Puskesmas Gedongtengen meliputi 2 kelurahan. Kasus DBD yang tercacat pada tahun 2006 mencapai 33 kasus, tahun 2007 mencapai 23 kasus,  pada tahun 2008 - 2009 sebanyak 14 kasus. Dengan demikian, kasus di Puskesmas gedotengen menurun, namun masih terdapat warga yang positif DBD sehingga perlu adanya kegiatan pengendalian.
Pada tahun 2008-2009, diketahui kelurahan Pringgokusuman sebanyak 6 kasus dan Sosromenduran sebanyak 8 kasus. Berdasarkan 14 kasus tersebut 1 orang dinyatakan meninggal
Kelurahan Pringgokusuman selama tahun  2009 diketahui ABJ sebesar 0,5 % dan CI sebesar 99,5 yang meliputi 23 Rw, 92 Rt. Sedangkan Sosromenduran pada tahun 2009, ABJ sebesar 0,8 % dan CI sebesar 99,2 % yang meliputi 14 Rw, 55 Rt.  Dari dua kelurahan kelurahan pringgokusuman memiliki angka bebas jentik terendah sehingga perlu adanya pengendalian yang terpadu.
Upaya pengendalian telah dilakukan oleh Puskesmas di Kelurahan Pringgokusuman adalah menggunakan temephos 1 %, dan pelaksanaan fogging. Namun kasus DBD belum mengalami penurunan. Setiap bulan  terdapat warga yang positif DBD pada tahun 2006 hingga 2007.
Letak Kelurahan Pringgokusuman di daerah pinggir sungai, dan dekat kompleks perhotelan dan kawasan padat penduduk. Letak kelurahan ini dapat menimbulkan bertambahnya kasus DBD. Pelaksanaan abatisasi oleh kader kesehatan tidak dilakukan secara maksimal.  Namun setelah tahun 2000, dengan program pemantauan jentik berkala dan menggunakan sumilarv (pyriproxyfen 0,5%)   penyakit DBD menjadi menurun.
Pelaksanaan pemberantasan penyakit DBD di Kelurahan Pringgokusuman dapat menurun dengan adanya program pemantauan jentik berkala dan pemakaian  sumilarv (pyriproxyfen 0,5%). Sebelumnya dengan menggunakan abate, penyakit DBD belum dapat mengalami penurunan.
Mengingat uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui Efektivitas Penggunaan temephos 1%  dan pyriproxyfen 0,5% Terhadap Kematian Larva Aedes aegypti di Kelurahan Pringgokusuman Yogyakarta 2010.